Jatuh cinta itu sulit tapi banyak yang menganggapnya bisa dengan
mudah pergi begitu saja. Pada mula dan
ahirnya segala hal di dunia ini bernuansa kesendirian. Pada mula dan ahirnya
segala hal memang bermuara pada pemaknaan yang paling sendiri. Pada halnya
segala hal memang berdimensi sendiri. Dan saat ini “DIA” telah membuat aku
sendiri.
Dalam hampir keduapuluh babak hidup ku yang kerap berliku dan
sunyi, cintalah yang paling rumit untuk dimengerti. Katanya jatuh cinta itu
mudah, tapi sulit bagiku, bahkan mengatakan “I love you” itu membutuhkan
beberapa waktu, begitu halnya membangun perasaan kepada “DIA”.
Keempat tahun setelah aku
menyadari bahwa denyar yang tidak
biasa itu ada, bahkan di saat kita sudah tidak saling temu 3 tahun lamanya
seperti itulah denyar di keempat tahun itu pun baru bisa kurasakan bagaimana
suara “DIA” berkata demikian
Cinta “DIA” yang melukis sejarah telah mengembara pada perjalanan
waktu paling rentang. Mencium setiap tetesan air mata yang berulang kali datang
menghampiri ku. Menjadi semacam bebatuan yang selalu setia menunggu kita di
pantai-pantai harapan berikutnya. Namun, kali ini aku hanya ingin bertutur
tentang gejolak rasa yang menjelma dalam sejarah. Menjadi bukit-bukit waktu
yang berpulang dan membiarkan cinta bekerja dengan begitu indah. Dan kita akan
selalu ada pada masing-masing riwayat yang menulis tentang kita, cinta dan
sejarah.
Di saat-saat itu banyak ku temukan kekuatan aneh untuk siaga dan
bertahan. Saat fisik sedang rapuh, saat beragam kenyataan pahit silih berganti
menghampiriku, saat seisi disekelilingku seolah tak mengerti tentang rasa lelah
yang entah datang dari mana. Aktivitas sehari-hariku memang tidak banyak, tapi
itu sering membuat tubuhku jera dan lemah. “DIA” datang entah dengan mantra seperti
apa. Sejuk, nyaman, dan memberiku kekuatan.
Di bulan Juli, dibisingnya keramaian, disunyi senyapnya malam dan
kesendirian, disuka maupun duka, aku semakin temukan jika kesendirian itulah
adalah hakikat ku, entah mengapa “DIA” terasa semakin menjauh dan pergi, “DIA” seperti
kehilangan wibawa untuk menjadi tempat bersandar, dan tersesat arah dalam
bersabar. Aku semakin temukan jika hanya
diriku sendirilah yang sebenarnya paling mengerti bagaimana harus kuarungi
lautan skenario tak terduga yang telah direncanakan-NYA. Jodoh atau tidah jodoh
memberikan sedikit kekuatan jika melihat potret kita berdua yang tidak hanya
satu dan dua orang yang mengatakan bahwa wajah kita searah meski terlahir dari
ibu yang berbeda.
Aku masih berharap, jejak langkah kita yang pernah selaras, dapat
membawa kita pada waktu dan kehidupan yang akan selalu searah. Entahlah kita
akan sepasang atau berlainan.
Memang diriku sendirilah yang paling bertanggung jawab terhadap semua yang telah, sedang, dan
akan terjadi atas ku, dan “DIA “ pun begitu . “DIA” yang bertanggung jawab atas
semua kehidupannya yang telah di takdirkan dan direncanakan oleh-NYA yang maha
kuasa. Hanya saja aku tidak ingin berhenti melangkah untuk mencapai itu,
sekarang ataupun nanti.
Tapi kehidupan maknanya adalah kesendirian, dan tanggung jawab
masing-masing. Jika itu merupakan suatu keputusan. Maka lewat tulisan ini aku
hanya ingin berkata terima kasih yang sebesar-besarnya, atas cinta yang telah
“DIA” berikan, atas rasa aman yang sering “DIA “ sampaikan, dan juga atas
segala kenangan, yang membuatku seperti tidak ingin lagi jatuh cinta seusai
mencintai “DIA”
Aku masih membaca semua itu baik-baik dari sorot mata “DIA” di
pertemuan kita minggu lalu. Karena, cinta selalu punya caranya sendiri untuk
kembali membuat kita mengerti dan memahami betapa hidup adalah keindahan yang
tak pernah usai kita nikmati. Terimakasih karena cinta yang membuat aku jatuh
cinta, juga karena harapan untuk hidup dengan semua yang berhubungan denganmu
kini telah selesai.
Laelatussa'adah
10 juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar